AHLAN WA SAHLAN

anda nyasar digubuk kami? jangan sungkan silahkan masuk dulu.

Senin, 29 Juni 2009

APA ITU KHILAFAH




Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi'il madhi khalafa, berarti : menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a ba'dahu fa-shaara makaanahu) (Al-Mu'jam Al-Wasith, I/251).

Dalam kitab Mu'jam Maqayis Al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a'zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).

Imam Al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (az-za'amah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-Qalqasyandi, Ma`atsir Al-Inafah fi Ma'alim Al-Khilafah, I/8-9).
PENGERTIAN SYAR'I

Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).

Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang Khilafah atau Imamah. Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat Al-Qur`an yang menyebut kata ad-dawlah al-islamiyah (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (Lihat Dr. Sulaiman Ath-Thamawi, As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).

Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (al-mazh-har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan mu'amalah (seperti perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227).

Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan Al-Baghdadi (1995) :

Pertama, menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 3).

Kedua, menurut Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats Al-Umam, hal. 15).

Ketiga, menurut Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah Al-Thawali', hal.225).

Keempat, menurut 'Adhuddin Al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah 'ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama (I'adah Al-Khilafah, hal. 32).

Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi SAW dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).

Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan seluruh [urusan umat] sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190).

Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma`atsir Al-Inafah fi Ma'alim Al-Khilafah, I/8).

Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn Al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh Al-Musayirah, hal. 141).

Kesembilan, menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-a'zham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, VII/289).

Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah 'ammah) untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW (dikutip oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil Al-Karamah fi Tibyan Maqashid Al-Imamah, hal. 23).

Kesebelas, menurut Syaikh Al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi SAW dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah Al-Murid 'Ala Jauhar At-Tauhid, II/45).

Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit Al-Muthi'i (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh Al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (I'adah Al-Khilafah, hal. 33).

Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam pelaksanaan apa yang dibawa Nabi SAW berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif Al-Aql wa Al-'Ilm wa Al-'Alim, IV/363).

Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW (Tarikh Al-Islam, I/350).

ANALISIS DEFINISI

Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :

Pertama, definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan,Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama.

Kedua, definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi urusan dunia (umuur ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan fungsi Khilafah untuk mengatur urusan agama.

Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam Al-Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.

Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) misalnya adanya dikotomi wilayah urusan dunia dan urusan agama daripada sebuah definisi yang bersifat syar'i, yang diturunkan dari nash-nash syar'i. Selain itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jaami'ah). Sebab definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin. Atau bahwa Khilafah mengatur kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah. Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya?

Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar'i (at-ta'rif asy-syar'i) atau definisi non-syar'i (at-ta'rif ghayr asy-syar'i) (Zallum, 1985:51). Definisi syar'i merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syar'i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi'il, dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, ideologi (mabda`), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya

Jika definisinya berupa definisi non-syar'i, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (al-waqi'), bukan dari nash-nash syara. Baik ia realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syar'i, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara' Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, definisi syar'i sesungguhnya adalah hukum syar'i, yang wajib diistimbath dari nash-nash syar'i (Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/438-442; Al-Ma'lumat li Asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syar'i, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar'i yang berkaitan dengannya.

Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar'i? Jawabannya, ya. Sebab nash-nash syar'i, khususnya hadits-hadits Nabi SAW, telah menggunakan lafazh-lafazh khalifah dan imam yang masih satu akar kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (Shahih Muslim, no. 1853). Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah dalam Kitab Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah.

Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash Al-Qur`an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu :

Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.

Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu : (1) tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah

Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits,Maka Imam yang [memimpin] atas manusia adalah [bagaikan} seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya). (Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan At-Tirmidzi, no. 1705, IV/308). Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan (ri`asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 208).

Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut :

Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (QS Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58), mengumpulkan dan membagikan zakat (QS At-Taubah:103), menegakkan hudud (QS Al-Baqarah:179), menjaga akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS Al-Hajj:32), dan seterusnya.

Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal batas negara (QS Al-Anfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35).

Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab Muqaddimah Ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja menurut pengertian syar'i (al-madlul asy-syar'i).

Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla.[Khilafah1924 Online]

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Muhammad ibn Abdurrahman (Qadhi Shafd). 1996. Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).

Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1995. Mafhum Al-Khalifah wa Al-Khilafah fi Al-Hadharah Al-Islamiyah. Majalah Al-Khilafah Al-Islamiyah. No 1 Th I. Sya'ban 1415 H/Januari 1995 M. (Jakarta : Al-Markaz Al-Istitiratiji li Al-Buhuts Al-Islamiyah).

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah. Juz V. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. (Kuwait : Darul Buhuts Al-'Ilmiyah).

Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu�jam Al-Wasith. (Kairo : Darul Ma'arif).

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

----------.1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

----------. 1963. Al-Ma'lumat li Asy-Syabab. (t.tp. : t.p.).

----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. (t.tp. : t.p.).

Ath-Thamawi, Sulaiman. 1967. As-Sulthat Ats-Tsalats fi Ad-Dasatir Al-Arabiyah al-Mu'ashirah wa fi Al-Fikr As-Siyasi Al-Islami. (Kairo : Darul Fikr Al-'rabi).

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Cetakan I. (Damaskus/Beirut : Darul Fikr).

Belhaj, Ali. 1991. Tanbih Al-Ghafilin wa I'lam Al-Ha`irin bi Anna I'adah Al-Khilafah min A'zham Wajibat Hadza Ad-Din. (Beirut : Darul 'Uqab).

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).

Zallum, Abdul Qadim. 1985. Hizb Al-Tahrir. (t.tp. : t.p.).

Last Updated ( Thursday, 22 December 2005 )

naik tangga berikutnya

Rabu, 24 Juni 2009

PERANAN DUA GOLONGAN MANUSIA

Baik buruknya moral masyarakat banyak ditentukan oleh moral para pemimpinnya, yaitu para ulama dan penguasa. Rasulullah saw. bersabda:
ِصنْفَانِ مِنَ النَّاسِ إِذاَ صَلُحَا صَلُحَا النَّاسُ وَ إِذَا فَسَدَا فَسََدَ النَّاسُ: اَلْعُلَمَاءُ وَ الْعُمَرَاءُ
“Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat. Tetapi bila keduanya rusak, maka akan rusaklah manusia itu. Kedua golongan manusia tersebut yaitu ulama dan penguasa” (HR. Abu Naim).

Manusia juga ada dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok yang mengikuti jejak ulama, patuh kepada ajaran-ajaran yang dibawakannya, serta merasa terikat dengan hukum dan peraturan Islam. Mereka bekerja membantu ulama dalam memerangi musuh-musuh Islam, memberantas segala kemaksiatan, demi tercapaianya kebaikan dan kemakmuran bersama. Kelompok kedua, adalah kelompok orang yang tunduk di bawah perintah para penguasa, takut untuk melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan, sekalipunn itu hak. Mereka selalu mencari perlindungan penguasa dan menyuruh manusia untuk mematuhi peraturan yang berlaku.
Di antara ulama ada yang patut diteladani, karena hatinya baik, sopan santun dan berakhlak luhur, cinta keadilan dan benci kezaliman, berlaku jujur dan benar sekalipun atas dirinya sendiri. Segala permasalahan yang ditimbulkan oleh penguasa zalim selalu dihadapinya dengan hati penuh iman, dengan keyakinan yang didasarkan alasan-alasan syariat yang kuat dan mantap. Bila melihat penguasa yang angkuh dan melanggar batas-batas kemanusiaan, ulama itu memberinya nasihat agar dia kembali ke jalan yang benar.
Ada pula penguasa yang adil, bertakwa kepada Allah, imannya kuat dan teguh. Dia menghabiskan waktunya siang dan malam untuk berkhidmat kepada rakyat dengan memperhatikan segala keluhan dan kebutuhan mereka. Penguasa yang selalu tegak membela Islam, sangat marah apabila kehormatan Islam diinjak-injak dan sedih bila syiar-syiar Islam dinodai. Dia merasa senang bila keadilan ditegakkan, dan sangat tersinggung bila terrjadi suatu penganiayaan (kezaliman). Semua itu karena dia merasa memikul tanggung jawab terhadap rakyatnya. Dia selalu ingat kepada sabda Rasulullah yang berbunyi:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِِ فَاْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah penggembala dan semua akan ditanya tentang penggembalaannya, dan seorang Imam (kepala negara) dia akan ditanya tentang gembalaannya” (HR. Al Bukhari).

Bagi penguasa seperti ini, orang tua di antara umat Islam dianggap sebagai orang tuanya, yang muda dianggap sebagai saudaranya, dan yang kecil dianggapnya sebagai anaknya. Dengan demikian maka hakikat pembangunan dalam semua lapangan baik fisik maupun mental, dapat dirasakan manfaatnya oleh semua anggota masyarakat.

Tetapi tidak jarang terjadi kedua golongan manusia ini, yakni ulama dan penguasa, kondisinya bertolak belakang dengan sifat-sifat yang telah disebutkan di atas. Para ulama hanya pasif, berdiam diri dan menutup mata atas segala apa yang diperbuat oleh penguasa yang zalim. Sedangkan para penguasa cenderung untuk berbuat berbuat fasik, bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, dan mengikuti hawa nafsunya.

Menurut pemikiran sebagian ulama, kemungkaran yang sudah demikian hebatnya sudah sulit untuk dicegah. Nasihat dan teguran sudah tidak ada harganya lagi. Oleh karena itu, sikap diam adalah satu-satunya jalan untuk mencari selamat. Padahal akibat dari sikap diam itu justru menjadikan dekadensi moral alias kemerosotan akhlak masyarakat semakin bertambah luas. Masyarakat semakin tuli terhadap nasihat, buta terhadap kebenaran, dan hatinya semakin terkunci untuk menerima keadilan. Para ulama semakin tidak berdaya menahan lajunya pergaulan bebas yang merangsang manusia untuk lebih berani berbuat kezaliman, kerusakan dan kemungkaran. Tentu saja sikap berdiam diri itu tidak dibenarkan karena para ulama itu adalah penerus amanat risalah Nabi Muhammad saw. Seolah mereka lupa akan firman Allah SWT yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa". (QS. Al A’raf 164).

Justru ayat tersebut menjelaskan sikap para ulama sekaligus misi mulia mereka yakni menjadikan masyarakat bertaqwa.
Memang dewasa ini, akibat modernisasi yang tidak berlandaskan Islam, kubu kezaliman dalam segala corak dan bentuknya telah mendominasi negeri-negeri kaum muslimin. Sehingga kerusakan moral melanda seluruh segi-segi kehidupan manusia, kemungkaran dilakukan secara terang-terangan bahkan orang merasa bangga melakukan perbuatan yang terkutuk. Para ulama merasa kewalahan menghadapi situasi yang serba sulit ini, sehingga mereka mengambil sikap sendiri-sendiri. Ada yang tinggal diam melepaskan tanggung jawabnya sebagai ulama, merasa cukup dengan hanya melaksanakan ibadah formal, namun apa yang terjadi di massyarakat tidak dihiraukannya. Ada juga para ulama yang menjadi penyambung lidah para penguasa, mendukung dan membenarkan segala tindakan mereka. Ulama yang lain ada yang hanya pandai berceramah tetapi terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan ibadah formal seperti sholat, zakat dan sebagainya. Namun tidak berani menyinggung situasi yang sedang terjadi sebagai akibat dari kebijakan dan langkah penguasa yang zalim. Bahkan ada yang lebih parah lagi, sebagian ulama ada yang menganut paham sosialis atau kapitalis ala Barat dan mendukungnya dengan mencari-cari dalil dari ajaran Islam yang dipaksa-paksakan, seolah-olah paham tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Sikap dan tindakan para ulama tersebut tidak bisa dibenarkan. Sebagai pewaris dan pelanjut risalah dakwah Nabi Muhammad, seharusnya mereka melaksanakan amar makruf nahi mungkar dengan tetap bertawakal kepada Allah. Kondisi ini perlu kita cermati mengingat Rasulullah saw. bersabda:
سَيَكُوْنُ أُمَرَاءُ فَسَقَةٌ جَوَرَةٌ فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَاَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّيْ وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَنْ يَرِدَ عَلَى الْحَوْضِ
“Akan datang penguasa-penguasa yang fasik dan jahat. Siapa saja yang percaya dengan kebohongannya dan membantu kezalimannya, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak akan masuk ke telagaku di surga”. (HR. Tirmidzi).

Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata: “Rasanya tulang-tulang punggungku hancur karena dua orang, yang satu orang alim bermuka tebal, dan yang satu lagi seorang jahil yang berpura-pura menjadi ahli ibadah. Yang pertama menipu manusia dengan ilmunya, dan yang kedua menipu manusia dengan ibadahnya”.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin mengatakan: “Ulama itu ada tiga macam.
(1) Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain dengan mengejar-ngejar kesenangan dunia.
(2) Ulama yang menyelamatkan dirinya dan orang lain dengan menyeru manusia untuk berbakti kepada Allah SWT secara lahir dan batin.
(3) Dan ulama yang membinasakan dirinya tetapi menyelamatkan orang lain. Pada lahirnya dia memanggil manusia untuk mengerjakan kebaikan, tetapi secara diam-diam dia sendiri hanya mengejar-ngejar harta untuk mencari kekayaan dan kedudukan dunia. Maka hendaklah kita mengoreksi diri masing-masing, termasuk ke dalam golongan manakah kita di antara tiga macam ulama itu”.

Sejarah perjuangan dan keberhasilan para ulama terdahulu terukir karena mereka benar-benar merasa bertanggung jawab terhadap umat di hadapan Allah SWT. Mereka berjuang menegakkan amar makruf nahi mungkar serta tidak gentar menghadapi segala macam tantangan dan ancaman yang dilancarkan oleh para penguasa yang zalim dan bengis. Mereka percaya dan bertawakal, bahwa hanyalah Allah SWT satu-satunya penolong dan pelindung. Mereka rela menerima takdir ilahi dan senantiasa memohon agar kelak kembali ke sisi-Nya dalam keadaan syahid. Mereka mengikhlaskan niat dan amal ibadahnya semata-mata hanya untuk Allah. Ucapan dan perkataan mereka sesuai dengan amal perbuatan mereka, sehingga benar-benar dapat meninggalkan bekas yang baik dalam hati para penguasa dan mempengaruhi hati itu untuk meninggalkan kezaliman dalam kekuasaannya.
Tetapi di zaman dimana kerakusan hawa nafsu sangat menonjol dalam hati para penguasa, mereka telah berhasil mengunci dan membisukan mulut para ulama. Akibatnya ucapan para ulama itu sudah tidak sesuai lagi dengan amal perbuatannya. Itulah sebabnya para ulama menjadi gagal dalam membawa misinya. Seandainya para ulama berdiri tegak dan benar-benar melaksanakan tugas dan kewajibannya, sudah barang tentu mereka akan berhasil. Karena harapan umat senantiasa digantungkan kepada para ulama dan penguasanya. Bila kedua-duanya rusak, tentu umat akan rusak pula.
Untuk mengetahui apakah seorang ulama itu baik atau tidak, begitu pula apakah seorang penguasa itu adil atau zalim, akan tampak pada pengamalannya terhadap hukum-hukum syariah. Segala sikap, perilaku, dan amal para ulama dan penguasa harus diukur dengan takaran syariah Islam, dan harus dilihat dengan kacamata Islam. Dengan itu dapat diketahui baik buruknya sifat dan sikap mereka terhadap Islam; dan bagaimana cara mereka menerapkan hukum-hukum syariah serta tanggung jawab mereka dalam mengemban dakwah Islam di kalangan umat. Dengan demikian akan terciptalah suatu kehidupan masyarakat yang baik, aman dan teratur. Sebaliknya, jika para ulama dan penguasa mengingkari sifat-sifat kebaikan tersebut, maka yang akan terjadi justru sebaliknya, yaitu kerusakan, kemungkaran, kebodohan, dan kezaliman.
Dalam hiruk pikuk kampanye pemilihan kepala negara yang melibatkan para penguasa dan ulama di negeri ini, kita berharap agar semua rakyat muslim di negeri ini merenungkan petunjuk ajaran Islam yang berkaitan dengan ulama dan penguasa di atas, dan menjadikan syariah Islam sebagai standar dalam memilih kepala negara. Para ulama, dengan segenap ilmu syariahnya, khususnya fiqh siyasah, hendaknya tampil memberikan rambu-rambu kepada umat maupun calon kepala negara, bukan tampil gegap gempita hanya untuk dukung-mendukung capres-cawapres secara pragmatis, lebih-lebih bila tampak kehilangan nuansa ideologis. Jika tidak, maka jangan heran bila kondisi kita ke depan bakal jauh lebih buruk dari hari ini, Na’udzbillahi mindzalik!

naik tangga berikutnya

PERANAN ULAMA

Umat yang tidak dibimbing oleh ulama akan menjadi umat yang tersesat. Mereka dapat terjerumus oleh godaan setan ke lembah kehidupan yang hina. Oleh karrena itulah, betapa pentingnya kehadiran seorang ulama di tengah-tengah masyarakat. Apalagi kita hidup di zaman dan di ruang dunia yang sedang didominasi oleh ideologi buatan manusia, yakni sekularisme-kapitalisme. Ideologi yang menelorkan peraturan buatan manusia ini, dan menjauhkan manusia dari hukum-hukum aturan Allah SWT. Ideologi yang menggiring manusia kepada penuhanan materi keduniawian, dan ideologi yang mengorbankan keluhuran budi demi memuja kecenderungan kepada ketamakan harta. Kegelapan jalan hidup jahiliyah yang sudah dihapuskan Rasulullah 15 abad yang lalu, kini muncul kembali.
Oleh karena itu, sangat diperlukan sekali hari ini, munculnya para ulama yang tampil mengambil peranan untuk menyelamatkan umat manusia. Kenapa mesti para ulama? Peranan apa yang harus dilakukan oleh para ulama? Tulisan ini mencoba menguraikannya.

Kedudukan para ulama

Para ulama adalah seumpama lampu yang terang menerangi jalan yang gelap gulita, membimbing dan menunjukkan jalan yang benar, menjadi wakil Allah diatas bumi ini. Ulama adalah lambang iman dan harapan umat, memeberikan petunjuk dan menyelamatkan manusia dari segala bencana. Tentang hal ini Rasulullah bersabda:
إِنَّ مَثَلَ الْعُلَمَاءِ فِي اْلأَرْضِ كَمَثَلِ النُّجُوْمِ فِي السَّمَاءِ يَهْتَدِيْ بِهَا فِيْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّوَالْبَحْرِ فَإِذَا طَمِسَتِ النُّجُوْمُ اَوْشَكَ اَنْ تَضِلَّ الْهُدَاةُ
“Seumpama ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila dia terbenam maka jalan akan kabur”. (HR Imam Ahmad)

Dalam hadits yang lain juga diriwayatkan:
وَأَنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَانَ فِي الْماَءِ وَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلىَ الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلىَ سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ.
“Seluruh mahluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di dalam air semuanya beristighfar untuk para ulama. Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama mulianya dengan bulan di tengah-tengah bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi”. (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi tentang kelebihan dan kemuliaan seorang alim dibandingkan dengan para ahli ibadah. Maka nabi saw bersabda:
فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِيْ عَلَى اَدْنَاكُمْ اِنَّ اللهَ وَ مَلاَئِكَتَهُ وَاَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَ النَّمْلَةِ فِيْ جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوْتَ فِي الْمَاءِ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
“Kelebihan dan kemuliaan seorang alim dibandingkan seorang ahli ibadah adalah seperti kelebihan dan kemuliaanku atas orang-orang yang paling bawah diantaramu. Sesungguhnya Allah dan para malaikat dan penghuni langit dan bumi, bahkan semut di dalam lobangnya dan ikan-ikan didalam lautan, seluruhnya mendoakan kebaikan untuk orang alim yang selalu mengerjakan kebaikan bagi sesama manusia”. (HR Tirmidzi).

Betapa tinggi dan mulia kedudukan seorang ulama yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah saw. di atas. Jelaslah, ulama bukanlah tukang doa yang menjadi pemanis berbagai acara dan perhelatan yang diadakan oleh para pejabat dan orang-orang kaya. Mereka adalah para pewaris Nabi yang mengemban misi kenabian, memberikan pencerahan kepada manusia tentang risalah Allah SWT yang dibawa, diperjuangkan, dan dilaksanakan oleh Rasulullah saw. sepanjang sejarah perjalanan kehidupan kenabian beliau saw.

Peranan ulama?

Ya, para ulama yang mulia itu adalah para ulama yang mengerti kedudukannya sebagai pemimpin umat yang berjuang di jalan Allah, berani menyatakan yang hak itu hak, dan yang batil itu batil, serta senantiasa memberikan nasehat kepada para penguasa. Mereka selalu tabah dan sabar menghadapi segala macam tantangan dan halangan, demi memperjuangkan kepentingan umat dan tegaknya syariah Islam di muka bumi.
Ulama yang berhati bersih, jujur dan teguh dalam pendirian adalah ulama yang selalu percaya dengan sabda nabi yang berbunyi:
مَنْ رَأَى سُلْطَاناً جَائِرًا مُسْتَحِلاًّ لِحُرْمِ اللهِ نَاكِثًا لِعَهْدِ اللهِ مُخَالِفًا لِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ يَعْمَلُ فِي عِبَادِ الله ِباِْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَلَمْ يُغَيِّرْ بِقَوْلٍ وَلاَفِعْلٍ كَانَ حَقًّا عَلىَ اللهِ اَنْ يُدْخِلَهُ مَدْخَلَهُ
“Barang siapa yang melihat sultan yang zalim dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melanggar janji Allah dan menyalahi sunnah rasulnya, berbuat kejam dan aniaya terhadap hamba-hamba Allah dengan sewenang-wenang, dan orangitu tidak mencegahnya baik dengan lisan ataupun perbuatannya, maka sudalah patut orang itu menempati tempat yang telah disediakan oleh Allah baginya (sulthan yang zalim)”.
Ulama selalu beramal dengan menegakkan yang wajib ditegakkan dan melarang yang wajib dilarang. Mereka tidak menyembunyikan kebenaran syari’at karena mereka percaya dengan firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua mahluk yang dapat melaknat”. QS 2: 159

Dalam surat ‘Ali Imran: 187 Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima. (QS.Ali Imran 187).

Hari ini, ketika Islam dijauhkan dari kaum muslimin, ketika syariah Islam ditelantarkan oleh para penguasa muslim di seluruh dunia, ketika sekularisme dan berbagai paham asing dari Islam justru bagai gurita melilit dan mndominasi umat Islam ini, ketika umat ini mengalami berbagai kerusakan pemikiran, perasaan, dan kebribadian, maka para ulama pewaris ilmu dan jiwa perjuangan para Nabi itu sudah selayaknya keluar dari tempat berdzikir dan wiridan mereka untuk berjuang melakukan perbaikan bahkan perubahan. Ulama wajib tampil menjelaskan kembali bagaimana sunnah Rasulullah saw. dalam berbagai aspek kehidupan, ibadah, akhlak, ekonomi, pendidikan, politik dalam negeri, keamananan, keuangan, juga politik luar negeri, pengaturan militer dan jihad fi sabilillah. Rasulullah saw. diriwayatkan pernah bersabda:
مَنْ أَحْيَا سُنَّتِيْ عِنْدَ فَسَادِ أُمَّتِيْ لَهُ مِئَاةُ شَهِيْدٍ
“Siapa saja yang menghidupkan sunnahku pada saat rusaknya umatku, dia akan mendapatkan pahala 100 orang mati syahid”.

Ulama yang memiliki ilmu warisan rasulullah saw. dalam kondisi seperti hari ini tidak boleh diam. Ulama harus menjelaskan kepada umat, apakah hakikat pemilu menurut Islam, apakah hakikat kepala negara menurut syariah Islam, apakah hakikat pengaturan negara menurut syariat Islam. Apa saja tugas negara dalam memelihara urusan umat? Apa hakikat partai poltik menurut syariat islam, apa saja tugas mereka menurut syariat islam? Demikian juga apa hakikat lembaga perwakilan (Majelis Umat) menurut syariat Islam, apa pula fungsi dan peranannya? Dengan demikian majelis-mejelis taklim harus dipenuhi dengan penjelasan-penjelasan yang syar’I, tidak tendensius untuk kemenangan partai kontestan pemilu tertentu, tapi untuk kepentingan menegakkan kejayaan Islam dan kemenangan kaum muslimin. Kalau ulama tidak menjelaskan, mereka pasti dalam kebingungan dan kegelisahan, bahkan mungkin sekali di masa kampanye akan terjadi bentrokan dna perkara-perkara yang tidak kita inginkan. Jelaslah, ulama tidak boleh diam, tapi wajib menyampaikan kebenaran Islam.
Ulama yang demikianlah patut menerima penghargaan yang tertinggi dan mulia yang diberikan oleh Islam. Karena jasa-jasa dan pengorbanannya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah selaku penyebar ajaran Al Qur’an kepada seluruh umat manusia. Betapa besar jasa para ulama itu dan betapa agung kepribadian mereka. Semoga ulama seperti ini segera bermunculan, biar kita semua selamat dunia maupun akhirat. Allahumma Amin Ya Mujiibas Saailiin!

naik tangga berikutnya

Kamis, 11 Juni 2009

Optimis dengan Rahmat Allah

Artikel dari Hizbut Tahrir Indonesia

Optimis, penuh harapan, pantang menyerah, dan tak kenal putus asa, adalah jiwa seorang mukmin dalam mengarungi dunia ini, hingga kembali ke haribaan-Nya. Jiwa tersebut akan muncul dari kesadaran dan keyakinan yang mendalam akan kekuasaan dan pertolongan Allah SWT kepada hamba-Nya yang mengimaninya dan tekun beribadah kepada-Nya, khususnya manakala seorang hamba senantiasa membaca Al Quran dan berusaha memahami makna-makna dari firman-firman-Nya. Ada dua perkara yang menjadikan orang selalu optimis: (1) Selalu berharap kepada rahmat Allah, (2) Tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah.

Selalu Berharap Kepada Rahmat Allah
Berharap kepada rahmat Allah adalah berbaik sangka kepada-Nya. Di antara tanda berbaik sangka kepada Allah adalah mengharapkan rahmat, jalan keluar, ampunan, dan pertolongan dari-Nya. Allah Swt. telah memuji orang yang mengharapkan perkara-perkara tersebut seperti halnya Allah memberikan pujian kepada orang yang takut kepada Allah. Allah juga telah mewajibkan roja dan berbaik sangka kepada-Nya, sebagaimana Allah mewajibkan takut kepadanya. Karena itu, seorang hamba hendaknya senantiasa takut kepada Allah dan mengharapkan rahmat dari-Nya.
Allah berfirman:
]إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ[
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. Al-Baqarah [2]: 218)

]وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ[
Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (TQS.Al-A’raf [7]: 56)


]أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ ءَانَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِز[
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (TQS. Al-Zumar [39]: 9)

Dari Watsilah bin Asqa, ia berkata; berbahagialah karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, Allah berfirman:

«أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ»
Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik kepada-Ku, maka kebaikan baginya, dan bila berprasangka buruk maka keburukan baginya. (HR. Ahmad dengan sanad hasan dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya).
Dan sabda Rasulullah saw.:

«وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ»
Apabila ia berprasangka buruk maka keburukan baginya, adalah indikasi bahwa tuntutan dalam hadits tersebut bersifat pasti. Artinya perintah untuk senantiasa berharap kepada Allah dan berbaik sangka kepada-Nya pada ayat-ayat dan hadits-hadits di atas adalah tuntutan yang bersifat wajib.

• Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw; beliau bersabda:
«يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي»
Allah berfirman; Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku dan Aku akan bersamanya ketika ia mengingat-Ku. (Mutafaq 'alaih).

Dari Anas ra. sesungguhnya Nabi saw. masuk untuk menemui seorang pemuda yang sedang sakaratul maut, maka Rasulullah saw. bersabda:
«كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ أَرْجُو اللهَ يَا رَسُولَ اللهِ وَأَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ»
Bagaimana keadaanmu? Pemuda itu berkata, “Ya Rasulullah saw.! aku mengharapkan rahmat Allah dan aku sangat takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah takut dan roja berkumpul dalam hati seorang hamba dalam keadaan seperti ini kecuali Allah akan memberikan kepadanya apa-apa yang diharapkannya, dan akan memberikan keamanan kepadanya dari perkara yang ditakutinya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, Al-Mundziri berkata hadits ini sananya hasan)

Dari Anas ra. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
«يَقُولُ قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً»
Allah berfirman, “Wahai anak Adam!, sesunggunya engkau selama berdoa dan beharap kepada-Ku, maka Aku pasti akan memberikan ampunan kepadamu atas segala dosa-dosamu dan Aku tidak akan memperdulikan (besar dan kecilnya dosa). Wahai anak Adam!, andaikata dosa-dosamu sampai ke langit kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberikan ampunan kepadamu. Wahai Anak Adam!, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku, tapi engkau tidak menyekutukan-Ku sedikit pun, maka pasti Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh bumi.” (HR. Tirmidzi. Ia berkata hadits ini hasan)

Tidak Berputus Asa dari Rahmat Allah
Putus asa (al-qanut dan al-ya’su) adalah lawan dari berharap (roja). Putus asa dari rahmat Allah dan karunia-Nya hukumnya haram. Allah SWt berfirman:
]يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلاَ تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لاَ يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ[
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (TQS. Yusuf [12]: 87)

]قَالُوا بَشَّرْنَاكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُنْ مِنَ الْقَانِطِينَ$قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّالُّونَ[
Mereka menjawab: "Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa". Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat". (TQS. Al-Hijr [15]: 55-56)

]وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَلِقَائِهِ أُولَئِكَ يَئِسُوا مِنْ رَحْمَتِي وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ[
Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih. (TQS. Al-Ankabut [29]: 23)

]قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ[
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. Al-Zumar [39]: 53)

Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra., ia berkata; sesungguhnya Rasulullah bersabda:
«لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنْ الْعُقُوبَةِ مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنْ الرَّحْمَةِ مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ»
Andaikata seorang mukmin mengetahui siksaan yang ada di sisi Allah, maka seorang pun tidak akan ada yang tidak mengharapkan surga-Nya. Dan andaikata orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka seorang pun tidak akan ada yang putus harapan dari surga-Nya. (Mutafaq 'alaih)

Dari Fadhalah bin Abid, dari Rasulullah saw. ia bersabda:
«وَثَلاَثَةٌ لاَ تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ رِدَاءَهُ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ وَالْقَنُوطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ»
Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari kiamat yaitu, Manusia yang mencabut selendang Allah. Sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah Al-Izzah (keperkasaan); Manusia yang meragukan perintah Allah; Dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah. (HR. Ahmad, Thabrani, dan Al-Bazar. Al-Haitsami berkata perawinya terpercaya. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab, Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)

Dari Habah dan Sawa bin Khalid, keduanya berkata; Kami masuk bertemu dengan Rasulullah saw. sedangkan beliau sedang menyelesaikan suatu perkara. Kemudian kami berdua membantunya, maka Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ تَيْئَسَا مِنْ الرِّزْقِ مَا تَهَزَّزَتْ رُءُوسُكُمَا فَإِنَّ اْلإِنْسَانَ تَلِدُهُ أُمُّهُ أَحْمَرَ لَيْسَ عَلَيْهِ قِشْرٌ ثُمَّ يَرْزُقُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ»
Janganlah kamu berdua berputus asa dari rizqi selama kepalamu masih bisa bergerak. Karena manusia dilahirkan ibunya dalam keadaan merah tidak mempunyai baju, kemudian Allah memberikan rizqi kepadanya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dalam kitab shahihnya)

Dari Ibnu Abas, ada seorang lelaki berkata, “Ya Rasulullah saw.! apa dosa besar itu?” Rasulullah saw. bersabda: Dosa besar itu adalah musyrik kepada Allah, putus asa dari karunia Allah, dan putus harapan dari rahmat Allah. (Al-Haitsami berkata telah diriwayatkan oleh Al-Bazar dan Thabrani para perawinya terpercaya, As-Suyuti dan Al-Iraqi menghasankan hadits ini)

Para Rasul tidak pernah putus harapan dari pertolongan Allah dan jalan keluar dari Allah. Mereka hanya putus harapan dari keimanan kaumnya. Allah berfirman:
]حَتَّى إِذَا اسْتَيْئَسَ الرُّسُلُ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جَاءَهُمْ نَصْرُنَا فَنُجِّيَ مَنْ نَشَاءُ وَلاَ يُرَدُّ بَأْسُنَا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِينَ[
Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa. (TQS. Yusuf [12]: 110)

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Aisyah membaca lafadz ‘kudzdzibu’ dengan memakai syiddah. Maksudnya adalah pendustaan suatu kaum kepada para Rasul, sebab para Rasul terjaga dari kesalahan.

Khatimah

Jelaslah perbedaan orang mukmin dengan kafir yang paling utama adalah, orang mukmin masih punya harapan kepada rahmat Allah SWT, sedangkan orang kafir tidak punya harapan itu. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. AN Nisa 104).
Oleh karena itu, seorang mukmin memiliki kekuatan spiritual yang membuatnya maju terus pantang mundur dalam menegakkan kalimat Allah! Dengan rahmat Allah, ia akan optimis menang dalam perjuangan. Sebesar apapun kekuatan kekufuran, baginya adalah kecil. Allahu Akbar!

naik tangga berikutnya

SOSIALISME VS ISLAM

Oleh D. Osmon
Untuk diskusi lebih lanjut, silakan layangan email ke: Ozsmon@plasa.com


Anda pernah membaca novel Dunia Sophie ? Apa yang disebut-sebut sebagai salah satu novel filsafat tersebut di dalamnya memang terdapat pertanyaan mendasar tentang manusia dan alam semesta ini. “Siapa kamu?” demikian diantara pertanyaan itu. Bila kamu menjawab “Ahmad!” karena namamu Ahmad, Robert atau Kamandanu, pertanyaan berikutnya “Apa itu Ahmad atau Kamandanu?” Saya tidak bertanya tentang rangkaian huruf-huruf k-a-m-a-n-d-a-n-u tersebut, tetapi saya bertanya tentang kamu. Untuk hal ini, adakah kamu duduk sejenak memikirkannya?
Kamu mungkin menjawab, “Saya adalah orang yang terlahir dari orang tua bernama…, bernama Kamandanu, suka ayam goreng.., buah favorit apel..., warna kesukaan hitam, dan sebagainya”. Sangat banyak deskripsi yang akan bisa kamu sampaikan seputar pertanyaan ‘Siapa kamu’. Sangat banyak hal yang bisa kamu sebutkan tentang dirimu, tetapi bagaimana halnya dengan ‘kamu’ ketika masih merah, baru lahir dari perut ibu, kamu tentu belum kenal apa itu apel, warna merah, rangkaian huruf-huruf k-a-m-a-n-d-a-n-u, apakah bayi merah tadi itu ‘bukan kamu’. Jadi, apa itu kamu (bisa juga saya)?
Bagi sebagian orang hal ini mungkin sepele, tak ada waktu luang baginya berpikir dan mencari jawabnya. Namun sebenarnya tidaklah demikian. Manusia mencari jawab dan menyimpannya dalam dirinya masing-masing. Mulai dari Darwin sampai Darwan, dari Budi sampai Budha, dari Karl Marx sampai Kirl Mirg (ada nggak yang punya nama seperti ini), menyimpan jawaban masing-masing. Mereka mempunyai jawaban berbeda-beda dan memilki tingkat pembenaran tersendiri.
Apakah alam dan apakah manusia? Darimanakah mereka datang, siapa pencipta dan pengatur mereka? Bagaimana mereka mulai dan bagaimana mereka berakhir? Apakah hidup dan apakah mati itu? Pertanyaan-pertanyaan ini, seperti yang dikatakan oleh Bartholomy Sant Helber, jawabannya telah ditemukan oleh semua bangsa dan masyarakat, entah dengan jawaban yang baik atau buruk, diterima atau ditolak, konsisten atau tidak konsisten. Dan Shashawan berkata: “Sehebat apapun kemajuan kita kini, sebenarnya pikiran kita; siapapun kita, pembesar, orang biasa, orang baik maupun jahat; di saat-saat tenang , rileks dan diam, pastilah akan kembali merenungkan masalah-masalah ‘pra penciptaan’ (azali) (Distorsi Sejarah dan Ajaran Yesus, Dr. Rauf Syalabi).
Siapa kita, alam semesta dan segala yang terindra ini, adalah pertanyaan yang jawaban yang didapat manusia akan menentukan berbagai pemikiran lainnya, termasuk pemikiran tentang bagaimana sebaiknya hidup ini dijalankan, aturan masyarakat seperti apa yang mesti diterapkan. Karena itulah pertanyaan-pertanyaan tadi disebut sebagai persoalan akidah.
Akidah dari segi bahasa berarti ikatan. Karena objeknya adalah satu, alam semesta, manusia dan kehidupan yang sama, bumi yang sama, maka hanya satu diantara jawaban mendasar ini yang benar. Tidak mungkin ada dua atau tiga yang benar, selama objek yang dimaksud adalah sama.
Pendapat bahwa alam semesta ini pada mulanya terbuat dari telur yang pecah, atau kabut/awan yang bertabrakan, protein yang disambar petir atau raksasa yang berperang, bila salah
satu dari opsi jawaban ini dibenarkan, maka mau tidak mau pendapat yang lainnya untuk soal yang sama mesti dikatakan salah. Ini sesuatu yang logis, selogis bila anda dilahirkan oleh si A dan tidak mungkin untuk objek yang sama anda dilahirkan oleh Adik dari si A, si B misalnya.

Jawaban Benar untuk Seluruh Manusia
Ada satu hal yang pasti: Sebelum diri kita ada, kita pernah tidak ada. Ini benar-benar pasti. Walaupun kita tidak tahu ‘bagaimana keadaan’ saat kita tidak ada tersebut, ini kepastian. Walaupun kita tidak tahu ‘bagaimana keadaan’ saat kita tidak ada tersebut, ini wajib dibenarkan. Ini hal yang pertama.
Berikutnya, apa atau siapa yang membuat kita ada? Orang tua? Lalu siapa yang membuat orang tua kita menjadi ada? Demikian seterusnya…Lalu, karena kita ‘terbuat’ dari sumbang sih sepasang manusia, siapa yang membuat ‘sepasang manusia awal’ yang menjadi cikal bakal seluruh manusia berikutnya? Apakah ia juga pernah tidak ada?
Coba anda sebutkan semua benda di sekitar anda! Barangkali ada tas, dinding, meja, radio, komputer dan sepatu. Lalu apakah ia ada dengan sendirinya? Pasti anda jawab tidak, semuanya pasti ada yang membuatnya ada, dari tidak ada menjadi ada (tepatnya mengolah berbagai bahan yang tersedia).
Begitupun, ketika sebelum berangkat meninggalkan rumah, anda meninggalkan kamar dalam kondisi berantakan. Tetapi ketika anda pulang kamar itu sudah berubah menjadi teratur dan rapi, anda pasti meyakini bahwa dipastikan kamar tersebut ada yang merapikannya. Mustahil kamar itu merapikan dirinya sendiri. Mustahil kamar, meminjam istilah si Darwin, berevolusi yang kemudian tercipta kamar yang sedemikian bersih, rapi dan teratur.
Walhasil, untuk urusan kamar, tas atau dinding saja yang relatif sederhana, ia ada atau keadaannya teratur, kita meyakini itu dikarenakan oleh penyebab dari luar: yaitu ada yang mengatur atau ada yang membuatnya. Lalu bagaimana pula halnya dengan keberadaan diri kita, dan alam semesta ini. Apakah kita tidak memperhatikan alam? Apakah kita tidak pernah belajar ilmu alam?
Jawaban yang benar adalah dibalik segala yang bisa diindera ini ada pihak yang berposisi sebagai pencipta. Pembenaran ini adalah pasti, yaitu dengan dalil seperti di atas (dengan metode aqliyyah).
Berikutnya, pihak pencipta tadi mestilah memiliki sifat azali. Azali artinya tidak pernah tidak ada, atau dengan kata lain: selalu ada. Pencipta bersifat azali, artinya pencipta itu selalu ada. Ini yang membedakan Pencipta (khalik) dengan yang diciptakan (makhluk). Hal ini mudah dipahami, kalau pencipta juga memilki sifat pernah tidak ada, tentu ia bukan pencipta yang sesungguhnya. Berarti ia ada yang mengadakannya, artinya ia bukanlah pencipta.
Berikutnya, apakah pencipta yang diyakini tadi tidak memiliki hubungan apa-apa dengan kita dan segala yang terindera ini? Apakah setelah selesai diciptakan, masing-masing tidak memiliki tugas yang dibebankan kepada yang diciptakan tersebut? Ataukah ada tugas atau untuk apa ia diciptakan?
Dalam terminologi orang orang beragama, ada yang dikenal dengan istilah Utusan Khalik. Selain dari pengakuan orang yang bersangkutan, hal ini juga perlu disertai dengan bukti. Berkaitan dengan bukti ini, dikenal istilah mukjizat. Sifat mukjizat mestilah mampu mengatasi segala kemampuan yang dimiliki manusia. Bila tidak, ia bukanlah mukjizat dan orang yang mengaku membawanya bukanlah utusan Khalik, walaupun ia mengakuinya demikian (ataupun di blow up oleh seluruh media). Ketika sebaliknya, bahwa terbukti apa yang dibawa seseorang dan dikatakan sebagai mukjizat telah terbukti secara aqliyah, maka konsekusnsinya wajib dibenarkan orang yang membawanya adalah Utusan Khalik.
Mukjizat itu harus diuji secara aqliyah, demikian juga halnya terhadap Al Quran. Ketika telah dibuktikan secara aqliyah bahwa Al Quran adalah firman Khalik, barulah ia bisa dipakai sebagai informasi, yaitu sebagai informasi dari Khalik (Metode pembuktian terhadap Al Quran ini mesti dipahami oleh setiap muslim).
Dari al Quran kita bisa memastikan bahwa Khalik tadi menamakan dirinya Allah, bahwa nanti akan ada Hari Kiamat, nanti akan ada kehidupan kekal, bahwa nanti ada surga dan neraka dan berbagai penggambaran tentangnya, ini wajib dan sesuai akal sehat bila dibenarkan secara pasti. Sebab, sebelumnya akal kita yang telah membuktikan bahwa Al Quran tersebut adalah dari Khalik, pencipta segala yang ada, terindra ataupun tidak terindera.
Begitupun ketika diberitakan bahwa mereka yang akan selamat nantinya di kehidupan Akhirat adalah orang yang beragama dengan apa yang dibawa Muhammad saja (yaitu ketika Muhammad telah diutus), sedangkan orang-orang yang beragama selainnya, walau menisbatkan kepercayaan mereka kepada nabi-nabi yang disebutkan di Al Quran tetap ditolak dan mereka diberi cap kafir.
Demikian aqidah Islam dibangun, sehingga kalau ada misalnya ucapan tuduhan bahwa kenapa kamu menyatakan bahwa orang-orang selain Islam, tidak akan pernah merasakan surga, apakah itu tidak merupakan pemikiran sempit dalam beragama’, maka untuk menjawab ini kita cukup mengatakan bahwa kita sebagai muslim adalah membenarkan informasi yang diberitakan Al Quran. Jadi, pembenaran terhadap orang-orang kafir pasti masuk neraka bukan bersumber dari kita sebagai sesama makhluk, tetapi bersumber dari Khalik. Sebab sebelumnya telah dibuktikan bahwa Al Quran memang benar sebagai firman Khalik tersebut.
Tidak ada relativitas dalam hal ini, justru dengan menyatakan tidak ada relativitas ini, akidah seseorang benar-benar memuaskan akal. Sebab kalau sebaliknya (mengakui relativitas dalam soal akidah), bagaimana mungkin kita misalnya menyatakan bahwa bumi ada pencipta dan pada saat bersamaan dibenarkan pula bahwa bumi tidak ada penciptanya. Bagaimana mungkin, ketika Tuhan telah diyakini bahwa hanya agama yang dibawa Muhammad saja yang akan selamat dan pada saat bersamaan dia meyakini pula bahwa Hindu, Kristen dan agama lainnya bisa saja untuk masuk surga..
Membenarkan Al Quran sebagai firman Khalik, tetapi membenarkan pula hal yang bertentangan dengan apa yang disebutkan Al Quran, tidak bisa dibenarkan secara akal, kecuali ia meragukan terhadap kebenaran Al Quran itu sendiri. Sebab, objek surga dan neraka yang dibahas itu hanyalah satu, yaitu surga dan neraka yang diciptakan oleh pencipta bumi dan seluruh alam semesta ini. Bagaimana mungkin saya mengatakan bahwa di tangan kanan saya saat ini ada satu buah pensil dan pada saat bersamaan saya menyatakan pula ada sepuluh pensil di tangan tersebut? Bila diantara dua hal ini adalah hal yang benar, maka pastilah salah satunya saja yang benar dan tidak mungkin kedua-duanya.
Demikian akidah Islam dibangun. Ia adalah pembenaran pasti (tashdiqul jazm), didasarkan pada bukti, dan objeknya benar-benar fakta.
Upaya menciptakan keraguan terhadap akidah yang benar ini, tidak hanya oleh para misionaris dan orang-orang bodoh dan curang lainnya, tetapi oleh kalangan muslim yang terbodohi. Termasuk di Kampus IPB ini. Jauh hari sebelum kami membaca warning terhadap berbagai tempelan terhadap ancaman bahaya sosialis dan komunis, kami pernah mendatangi sebuah tempat kost karena aktivitas campur baur pria-wanita yang mereka lakukan sudah kelewatan. Mula-mula kami menyangka itu hanya segerombolan mahasiswa-mahasiswi biasa (diantaranya ada yang mengenakan kerudung juga) yang ingin bebas-bebasan saja, ternyata setelah diskusi kami yang alot, ternyata mereka sedang mengadakan sosialisasi untuk menyalurkan bantuan terhadap korban bencana alam. “Bagaimana menurut pandangan Mas terhadap Islam Kiri dan Islam Kanan, Mas berada di Islam yang mana?” Demikian tanya seorang wanitanya. Pertanyaan lainnya, “Kita dilahirkan dari keluarga muslim, dan agama kita tentu juga Islam, bagaimana halnya terhadap teman-teman kita yang dilahirkan dari orang tua non Islam (padahal itu bukan pilihan mereka, pen.). Apakah Tuhan itu adil?” demikian pertanyaan yang lain. Demikian mereka telah dibodohi dan mengarah kepada keraguan terhadap Al Quran, sekalipun diantara mereka ada yang mengaku melaksanakan sholat juga.
Tentu saja apa yang telah diputuskan Tuhan (Allah) dalam Al Quran pastilah adil. Ini hal pertama yang mesti dipegang terlebih dahulu, dan batas minimal untuk selamat. Sekalipun untuk selanjutnya, kita mesti berusaha di mana letak keadilan tersebut. Kalaupun kita tidak menemui (sebab kedalaman pemahaman muslim terhadap agamanya memang berbeda) maka tidak berarti bahwa Tuhan itu tidak adil, sebenarnya manusia tersebut yang belum memahami letak keadilan itu. Sebab, yang sesuai akal sehat, mestilah Tuhan itu adil.
Saat ini, pendangkalan terhadap akidah Islam tidak hanya dilakukan oleh para misionaris bodoh, tetapi juga oleh mereka (mengaku muslim) yang beraliran kiri, dan oleh mereka yang mengusung term liberal, yaitu dari kalangan anak muda yang masih mengakui kemuslimannya yang berpikir tidak konsisten (liberal?). “Kebenaran terhadap adanya Tuhan didasarkan kepada keberadaan makhluk-Nya. Bagaimana kalau makhluk-Nya itu tidak ada? (Masih bisa dibenarkankah keberadaan Tuhan tersebut?). Ucapan seperti ini yang pernah dilontarkan seorang anak manusia memandu sebuah acara ‘islam liberal’ di Gedung AMN Fateta beberapa waktu lalu.
Dan memang sebagaimana dilaporkan oleh majalah Forum Keadilan, diantara para partisipan mailing list Jaringan ‘Islam Liberal’ ini, selain CSIS dan ada PRD (Partai Rakyat Demokratik). Ibarat Inul yang merupakan ikon terhadap eksploitasi seksualitas, PRD dicurigai sebagai PKI orde kini. Sebenarnya lembaga-lembaga mantel komunislah yang juga mesti diperhatikan. Sebab, dengan berbagai slogan yang meninabobokan dari orang-orang yang benar-benar sosialis bisa menyusup dan memanfaatkan berbagai organisasi yang dimasukinya dan orang di dalamnya, sekalipun ia tidak mengerti apa itu sosialis itu sendiri. Kenyataan ini bisa kita perhatikan dengan perolehan suara PKI pada Pemilu 1955 yang cukup signifikan, pertanyaannya berapakah jumlah konstituen yang memilihnya tersebut benar-benar mengusung ideologi sosialis ataukah sebagian besar hanya mereka yang termakan oleh isu-isu politik yang diusung oleh beberapa gelintir kader PKI saja.
Slogan-slogan pertentangan antar kelas telah demikian akrab di telinga kita saat ini, tak terkecuali dibawakan dengan percaya diri oleh kalangan mahasiswa. ‘Memihak rakyat miskin’, misalnya. Padahal sebuah kebenaran yang ditegakkan (Islam) mestilah memihak kepada berbagai kelompok masyarakat, tak dibedakan kaya atau miskinnya.
Adanya warning bahaya komunis yang mengancam menurut kami bukan sekedar isapan jempol belaka. Bukankah, kelompok kiri tersebut berhasil menyukseskan agenda Amerika di Indonesia sebagai titik tolak kondisi Indonesia yang terus memburuk ini, yaitu menggulingkan rezim Soeharto yang mulai membandel di era 90-an dan juga menggagalkan Habibie menduduki tampuk kekuasaan. Jadi, bukan aktivis akhi dan ukhti yang demonya yang manis-manis itu yang memaksa Soeharto turun dari singgasananya, tetapi sebuah anarkisme yang terencana. Penggeraknya, jelas: Kelompok Kiri. Akankah mahasiswa (sebagian besar muslim) akan mengulangi kesalahan serupa?

Bagaimana Akidah Anggota Komunis, Sosialis?
Menyatakan bahwa pada faktanya Tuhan itu tidak ada, sama saja dengan meyakini bahwa ada yang azali selain Tuhan itu sendiri. Misalnya, ketika tanah atau protein yang berproses membentuk segala makhluk hidup ini, maka yang azali itu adalah materi. Jadi, ia sebenarnya bertuhankan kepada materi. Materi selalu ada, ia tidak pernah tidak ada, demikian akidah mereka yang ateis. Di awal tulisan ini, hal tersebut sangat jelas tergambar letak kesalahannya.
Berikutnya, terhadap mereka yang masih mengaku memeluk agama Islam. Jawabannya, adalah antara akidah (dasar pemikiran yang mendasar) dengan syariah satu sama lain adalah satu. Ia dibedakan (untuk memudahkan dalam pembahasan) tetapi sedikitpun tak bisa dipisahkan. Artinya, ketika sistem hidup yang diambilnya secara sadar bukan dari hukum-hukum yang telah diturunkan Allah swt dalam Al Quran, ada dua kemungkinan: pertama, ia telah telah keluar dari akidah Islam, dan kedua, ia adalah muslim yang bermaksiat.
Bila ia meyakini dalam hati terhadap hukum-hukum yang bertentangan dengan Al Quran tersebut sebagai sebuah hukum yang baik atau lebih baik dari Al Quran, maka bagaimana mungkin kita bisa mengatakan orang tersebut memiliki keyakinan bahwa Al Quran adalah diturunkan dari Allah swt? Apalagi ketika ia membelakangi Al Quran tatkala berbicara soal-soal kemasyarakatan dan menjadikan Al Quran sebagai justifikasi kesimpulan-kesimpulan yang telah ditetapkan sebelumnya, bagaimana mungkin dikatakan ia memakai Al Quran sebagai sumber hukum? Kesimpulannya, berbeda antara orang yang membantu fakir miskin, mendirikan panti asuhan, dan aktivitas kemasyarakatan lainnya, tetapi di dalam hatinya meragukan Al Quran, sekalipun apa yang dilakukannya ada perintahnya dalam Al Quran dengan orang yang tidak melakukan hal tersebut, tetapi di dalam hatinya membenarkan Al Quran firman Allah swt, bukan sebatas di bibir. Walaupun demikian, ketika masih ada pengakuan di bibir, kita tidak boleh men-cap individu-individu itu kafir, tetapi biarlah Allah nanti yang menetapkan putusannya. Pertanyaannya, sudahkah masing-masing kita mencapai keyakinan kepada Al Quran sebagai sumber utama dalam beragama Islam?

naik tangga berikutnya

About Me

ignorance makes me want to learn from the smallest

Hadist Pilihan

Rasulullah saw. juga bersabda: «مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ» Siapa saja yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah pasti akan membukakan baginya suatu jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat akan melebarkan sayap keridhaan bagi seorang pencari ilmu. Sesungguhnya seluruh makhluk yang ada di langit maupun yang ada di bumi hingga bahkan ikan-ikan di dasar lautan akan memintakan ampunan kepada Allah bagi seorang yang berilmu. Sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu dengan seorang ahli ibadah adalah laksana keutamaan cahaya bulan purnama pada malam hari atas seluruh cahaya bintang. Sesungguhnya pula, orang-orang yang berilmu (para ulama) adalah pewaris para nabi, sementara para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambil ilmu, ia berarti telah mengambil bagian yang sangat besar. (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi)

  ©Design by extron_ton.