AHLAN WA SAHLAN

anda nyasar digubuk kami? jangan sungkan silahkan masuk dulu.

Kamis, 11 Juni 2009

SOSIALISME VS ISLAM

Oleh D. Osmon
Untuk diskusi lebih lanjut, silakan layangan email ke: Ozsmon@plasa.com


Anda pernah membaca novel Dunia Sophie ? Apa yang disebut-sebut sebagai salah satu novel filsafat tersebut di dalamnya memang terdapat pertanyaan mendasar tentang manusia dan alam semesta ini. “Siapa kamu?” demikian diantara pertanyaan itu. Bila kamu menjawab “Ahmad!” karena namamu Ahmad, Robert atau Kamandanu, pertanyaan berikutnya “Apa itu Ahmad atau Kamandanu?” Saya tidak bertanya tentang rangkaian huruf-huruf k-a-m-a-n-d-a-n-u tersebut, tetapi saya bertanya tentang kamu. Untuk hal ini, adakah kamu duduk sejenak memikirkannya?
Kamu mungkin menjawab, “Saya adalah orang yang terlahir dari orang tua bernama…, bernama Kamandanu, suka ayam goreng.., buah favorit apel..., warna kesukaan hitam, dan sebagainya”. Sangat banyak deskripsi yang akan bisa kamu sampaikan seputar pertanyaan ‘Siapa kamu’. Sangat banyak hal yang bisa kamu sebutkan tentang dirimu, tetapi bagaimana halnya dengan ‘kamu’ ketika masih merah, baru lahir dari perut ibu, kamu tentu belum kenal apa itu apel, warna merah, rangkaian huruf-huruf k-a-m-a-n-d-a-n-u, apakah bayi merah tadi itu ‘bukan kamu’. Jadi, apa itu kamu (bisa juga saya)?
Bagi sebagian orang hal ini mungkin sepele, tak ada waktu luang baginya berpikir dan mencari jawabnya. Namun sebenarnya tidaklah demikian. Manusia mencari jawab dan menyimpannya dalam dirinya masing-masing. Mulai dari Darwin sampai Darwan, dari Budi sampai Budha, dari Karl Marx sampai Kirl Mirg (ada nggak yang punya nama seperti ini), menyimpan jawaban masing-masing. Mereka mempunyai jawaban berbeda-beda dan memilki tingkat pembenaran tersendiri.
Apakah alam dan apakah manusia? Darimanakah mereka datang, siapa pencipta dan pengatur mereka? Bagaimana mereka mulai dan bagaimana mereka berakhir? Apakah hidup dan apakah mati itu? Pertanyaan-pertanyaan ini, seperti yang dikatakan oleh Bartholomy Sant Helber, jawabannya telah ditemukan oleh semua bangsa dan masyarakat, entah dengan jawaban yang baik atau buruk, diterima atau ditolak, konsisten atau tidak konsisten. Dan Shashawan berkata: “Sehebat apapun kemajuan kita kini, sebenarnya pikiran kita; siapapun kita, pembesar, orang biasa, orang baik maupun jahat; di saat-saat tenang , rileks dan diam, pastilah akan kembali merenungkan masalah-masalah ‘pra penciptaan’ (azali) (Distorsi Sejarah dan Ajaran Yesus, Dr. Rauf Syalabi).
Siapa kita, alam semesta dan segala yang terindra ini, adalah pertanyaan yang jawaban yang didapat manusia akan menentukan berbagai pemikiran lainnya, termasuk pemikiran tentang bagaimana sebaiknya hidup ini dijalankan, aturan masyarakat seperti apa yang mesti diterapkan. Karena itulah pertanyaan-pertanyaan tadi disebut sebagai persoalan akidah.
Akidah dari segi bahasa berarti ikatan. Karena objeknya adalah satu, alam semesta, manusia dan kehidupan yang sama, bumi yang sama, maka hanya satu diantara jawaban mendasar ini yang benar. Tidak mungkin ada dua atau tiga yang benar, selama objek yang dimaksud adalah sama.
Pendapat bahwa alam semesta ini pada mulanya terbuat dari telur yang pecah, atau kabut/awan yang bertabrakan, protein yang disambar petir atau raksasa yang berperang, bila salah
satu dari opsi jawaban ini dibenarkan, maka mau tidak mau pendapat yang lainnya untuk soal yang sama mesti dikatakan salah. Ini sesuatu yang logis, selogis bila anda dilahirkan oleh si A dan tidak mungkin untuk objek yang sama anda dilahirkan oleh Adik dari si A, si B misalnya.

Jawaban Benar untuk Seluruh Manusia
Ada satu hal yang pasti: Sebelum diri kita ada, kita pernah tidak ada. Ini benar-benar pasti. Walaupun kita tidak tahu ‘bagaimana keadaan’ saat kita tidak ada tersebut, ini kepastian. Walaupun kita tidak tahu ‘bagaimana keadaan’ saat kita tidak ada tersebut, ini wajib dibenarkan. Ini hal yang pertama.
Berikutnya, apa atau siapa yang membuat kita ada? Orang tua? Lalu siapa yang membuat orang tua kita menjadi ada? Demikian seterusnya…Lalu, karena kita ‘terbuat’ dari sumbang sih sepasang manusia, siapa yang membuat ‘sepasang manusia awal’ yang menjadi cikal bakal seluruh manusia berikutnya? Apakah ia juga pernah tidak ada?
Coba anda sebutkan semua benda di sekitar anda! Barangkali ada tas, dinding, meja, radio, komputer dan sepatu. Lalu apakah ia ada dengan sendirinya? Pasti anda jawab tidak, semuanya pasti ada yang membuatnya ada, dari tidak ada menjadi ada (tepatnya mengolah berbagai bahan yang tersedia).
Begitupun, ketika sebelum berangkat meninggalkan rumah, anda meninggalkan kamar dalam kondisi berantakan. Tetapi ketika anda pulang kamar itu sudah berubah menjadi teratur dan rapi, anda pasti meyakini bahwa dipastikan kamar tersebut ada yang merapikannya. Mustahil kamar itu merapikan dirinya sendiri. Mustahil kamar, meminjam istilah si Darwin, berevolusi yang kemudian tercipta kamar yang sedemikian bersih, rapi dan teratur.
Walhasil, untuk urusan kamar, tas atau dinding saja yang relatif sederhana, ia ada atau keadaannya teratur, kita meyakini itu dikarenakan oleh penyebab dari luar: yaitu ada yang mengatur atau ada yang membuatnya. Lalu bagaimana pula halnya dengan keberadaan diri kita, dan alam semesta ini. Apakah kita tidak memperhatikan alam? Apakah kita tidak pernah belajar ilmu alam?
Jawaban yang benar adalah dibalik segala yang bisa diindera ini ada pihak yang berposisi sebagai pencipta. Pembenaran ini adalah pasti, yaitu dengan dalil seperti di atas (dengan metode aqliyyah).
Berikutnya, pihak pencipta tadi mestilah memiliki sifat azali. Azali artinya tidak pernah tidak ada, atau dengan kata lain: selalu ada. Pencipta bersifat azali, artinya pencipta itu selalu ada. Ini yang membedakan Pencipta (khalik) dengan yang diciptakan (makhluk). Hal ini mudah dipahami, kalau pencipta juga memilki sifat pernah tidak ada, tentu ia bukan pencipta yang sesungguhnya. Berarti ia ada yang mengadakannya, artinya ia bukanlah pencipta.
Berikutnya, apakah pencipta yang diyakini tadi tidak memiliki hubungan apa-apa dengan kita dan segala yang terindera ini? Apakah setelah selesai diciptakan, masing-masing tidak memiliki tugas yang dibebankan kepada yang diciptakan tersebut? Ataukah ada tugas atau untuk apa ia diciptakan?
Dalam terminologi orang orang beragama, ada yang dikenal dengan istilah Utusan Khalik. Selain dari pengakuan orang yang bersangkutan, hal ini juga perlu disertai dengan bukti. Berkaitan dengan bukti ini, dikenal istilah mukjizat. Sifat mukjizat mestilah mampu mengatasi segala kemampuan yang dimiliki manusia. Bila tidak, ia bukanlah mukjizat dan orang yang mengaku membawanya bukanlah utusan Khalik, walaupun ia mengakuinya demikian (ataupun di blow up oleh seluruh media). Ketika sebaliknya, bahwa terbukti apa yang dibawa seseorang dan dikatakan sebagai mukjizat telah terbukti secara aqliyah, maka konsekusnsinya wajib dibenarkan orang yang membawanya adalah Utusan Khalik.
Mukjizat itu harus diuji secara aqliyah, demikian juga halnya terhadap Al Quran. Ketika telah dibuktikan secara aqliyah bahwa Al Quran adalah firman Khalik, barulah ia bisa dipakai sebagai informasi, yaitu sebagai informasi dari Khalik (Metode pembuktian terhadap Al Quran ini mesti dipahami oleh setiap muslim).
Dari al Quran kita bisa memastikan bahwa Khalik tadi menamakan dirinya Allah, bahwa nanti akan ada Hari Kiamat, nanti akan ada kehidupan kekal, bahwa nanti ada surga dan neraka dan berbagai penggambaran tentangnya, ini wajib dan sesuai akal sehat bila dibenarkan secara pasti. Sebab, sebelumnya akal kita yang telah membuktikan bahwa Al Quran tersebut adalah dari Khalik, pencipta segala yang ada, terindra ataupun tidak terindera.
Begitupun ketika diberitakan bahwa mereka yang akan selamat nantinya di kehidupan Akhirat adalah orang yang beragama dengan apa yang dibawa Muhammad saja (yaitu ketika Muhammad telah diutus), sedangkan orang-orang yang beragama selainnya, walau menisbatkan kepercayaan mereka kepada nabi-nabi yang disebutkan di Al Quran tetap ditolak dan mereka diberi cap kafir.
Demikian aqidah Islam dibangun, sehingga kalau ada misalnya ucapan tuduhan bahwa kenapa kamu menyatakan bahwa orang-orang selain Islam, tidak akan pernah merasakan surga, apakah itu tidak merupakan pemikiran sempit dalam beragama’, maka untuk menjawab ini kita cukup mengatakan bahwa kita sebagai muslim adalah membenarkan informasi yang diberitakan Al Quran. Jadi, pembenaran terhadap orang-orang kafir pasti masuk neraka bukan bersumber dari kita sebagai sesama makhluk, tetapi bersumber dari Khalik. Sebab sebelumnya telah dibuktikan bahwa Al Quran memang benar sebagai firman Khalik tersebut.
Tidak ada relativitas dalam hal ini, justru dengan menyatakan tidak ada relativitas ini, akidah seseorang benar-benar memuaskan akal. Sebab kalau sebaliknya (mengakui relativitas dalam soal akidah), bagaimana mungkin kita misalnya menyatakan bahwa bumi ada pencipta dan pada saat bersamaan dibenarkan pula bahwa bumi tidak ada penciptanya. Bagaimana mungkin, ketika Tuhan telah diyakini bahwa hanya agama yang dibawa Muhammad saja yang akan selamat dan pada saat bersamaan dia meyakini pula bahwa Hindu, Kristen dan agama lainnya bisa saja untuk masuk surga..
Membenarkan Al Quran sebagai firman Khalik, tetapi membenarkan pula hal yang bertentangan dengan apa yang disebutkan Al Quran, tidak bisa dibenarkan secara akal, kecuali ia meragukan terhadap kebenaran Al Quran itu sendiri. Sebab, objek surga dan neraka yang dibahas itu hanyalah satu, yaitu surga dan neraka yang diciptakan oleh pencipta bumi dan seluruh alam semesta ini. Bagaimana mungkin saya mengatakan bahwa di tangan kanan saya saat ini ada satu buah pensil dan pada saat bersamaan saya menyatakan pula ada sepuluh pensil di tangan tersebut? Bila diantara dua hal ini adalah hal yang benar, maka pastilah salah satunya saja yang benar dan tidak mungkin kedua-duanya.
Demikian akidah Islam dibangun. Ia adalah pembenaran pasti (tashdiqul jazm), didasarkan pada bukti, dan objeknya benar-benar fakta.
Upaya menciptakan keraguan terhadap akidah yang benar ini, tidak hanya oleh para misionaris dan orang-orang bodoh dan curang lainnya, tetapi oleh kalangan muslim yang terbodohi. Termasuk di Kampus IPB ini. Jauh hari sebelum kami membaca warning terhadap berbagai tempelan terhadap ancaman bahaya sosialis dan komunis, kami pernah mendatangi sebuah tempat kost karena aktivitas campur baur pria-wanita yang mereka lakukan sudah kelewatan. Mula-mula kami menyangka itu hanya segerombolan mahasiswa-mahasiswi biasa (diantaranya ada yang mengenakan kerudung juga) yang ingin bebas-bebasan saja, ternyata setelah diskusi kami yang alot, ternyata mereka sedang mengadakan sosialisasi untuk menyalurkan bantuan terhadap korban bencana alam. “Bagaimana menurut pandangan Mas terhadap Islam Kiri dan Islam Kanan, Mas berada di Islam yang mana?” Demikian tanya seorang wanitanya. Pertanyaan lainnya, “Kita dilahirkan dari keluarga muslim, dan agama kita tentu juga Islam, bagaimana halnya terhadap teman-teman kita yang dilahirkan dari orang tua non Islam (padahal itu bukan pilihan mereka, pen.). Apakah Tuhan itu adil?” demikian pertanyaan yang lain. Demikian mereka telah dibodohi dan mengarah kepada keraguan terhadap Al Quran, sekalipun diantara mereka ada yang mengaku melaksanakan sholat juga.
Tentu saja apa yang telah diputuskan Tuhan (Allah) dalam Al Quran pastilah adil. Ini hal pertama yang mesti dipegang terlebih dahulu, dan batas minimal untuk selamat. Sekalipun untuk selanjutnya, kita mesti berusaha di mana letak keadilan tersebut. Kalaupun kita tidak menemui (sebab kedalaman pemahaman muslim terhadap agamanya memang berbeda) maka tidak berarti bahwa Tuhan itu tidak adil, sebenarnya manusia tersebut yang belum memahami letak keadilan itu. Sebab, yang sesuai akal sehat, mestilah Tuhan itu adil.
Saat ini, pendangkalan terhadap akidah Islam tidak hanya dilakukan oleh para misionaris bodoh, tetapi juga oleh mereka (mengaku muslim) yang beraliran kiri, dan oleh mereka yang mengusung term liberal, yaitu dari kalangan anak muda yang masih mengakui kemuslimannya yang berpikir tidak konsisten (liberal?). “Kebenaran terhadap adanya Tuhan didasarkan kepada keberadaan makhluk-Nya. Bagaimana kalau makhluk-Nya itu tidak ada? (Masih bisa dibenarkankah keberadaan Tuhan tersebut?). Ucapan seperti ini yang pernah dilontarkan seorang anak manusia memandu sebuah acara ‘islam liberal’ di Gedung AMN Fateta beberapa waktu lalu.
Dan memang sebagaimana dilaporkan oleh majalah Forum Keadilan, diantara para partisipan mailing list Jaringan ‘Islam Liberal’ ini, selain CSIS dan ada PRD (Partai Rakyat Demokratik). Ibarat Inul yang merupakan ikon terhadap eksploitasi seksualitas, PRD dicurigai sebagai PKI orde kini. Sebenarnya lembaga-lembaga mantel komunislah yang juga mesti diperhatikan. Sebab, dengan berbagai slogan yang meninabobokan dari orang-orang yang benar-benar sosialis bisa menyusup dan memanfaatkan berbagai organisasi yang dimasukinya dan orang di dalamnya, sekalipun ia tidak mengerti apa itu sosialis itu sendiri. Kenyataan ini bisa kita perhatikan dengan perolehan suara PKI pada Pemilu 1955 yang cukup signifikan, pertanyaannya berapakah jumlah konstituen yang memilihnya tersebut benar-benar mengusung ideologi sosialis ataukah sebagian besar hanya mereka yang termakan oleh isu-isu politik yang diusung oleh beberapa gelintir kader PKI saja.
Slogan-slogan pertentangan antar kelas telah demikian akrab di telinga kita saat ini, tak terkecuali dibawakan dengan percaya diri oleh kalangan mahasiswa. ‘Memihak rakyat miskin’, misalnya. Padahal sebuah kebenaran yang ditegakkan (Islam) mestilah memihak kepada berbagai kelompok masyarakat, tak dibedakan kaya atau miskinnya.
Adanya warning bahaya komunis yang mengancam menurut kami bukan sekedar isapan jempol belaka. Bukankah, kelompok kiri tersebut berhasil menyukseskan agenda Amerika di Indonesia sebagai titik tolak kondisi Indonesia yang terus memburuk ini, yaitu menggulingkan rezim Soeharto yang mulai membandel di era 90-an dan juga menggagalkan Habibie menduduki tampuk kekuasaan. Jadi, bukan aktivis akhi dan ukhti yang demonya yang manis-manis itu yang memaksa Soeharto turun dari singgasananya, tetapi sebuah anarkisme yang terencana. Penggeraknya, jelas: Kelompok Kiri. Akankah mahasiswa (sebagian besar muslim) akan mengulangi kesalahan serupa?

Bagaimana Akidah Anggota Komunis, Sosialis?
Menyatakan bahwa pada faktanya Tuhan itu tidak ada, sama saja dengan meyakini bahwa ada yang azali selain Tuhan itu sendiri. Misalnya, ketika tanah atau protein yang berproses membentuk segala makhluk hidup ini, maka yang azali itu adalah materi. Jadi, ia sebenarnya bertuhankan kepada materi. Materi selalu ada, ia tidak pernah tidak ada, demikian akidah mereka yang ateis. Di awal tulisan ini, hal tersebut sangat jelas tergambar letak kesalahannya.
Berikutnya, terhadap mereka yang masih mengaku memeluk agama Islam. Jawabannya, adalah antara akidah (dasar pemikiran yang mendasar) dengan syariah satu sama lain adalah satu. Ia dibedakan (untuk memudahkan dalam pembahasan) tetapi sedikitpun tak bisa dipisahkan. Artinya, ketika sistem hidup yang diambilnya secara sadar bukan dari hukum-hukum yang telah diturunkan Allah swt dalam Al Quran, ada dua kemungkinan: pertama, ia telah telah keluar dari akidah Islam, dan kedua, ia adalah muslim yang bermaksiat.
Bila ia meyakini dalam hati terhadap hukum-hukum yang bertentangan dengan Al Quran tersebut sebagai sebuah hukum yang baik atau lebih baik dari Al Quran, maka bagaimana mungkin kita bisa mengatakan orang tersebut memiliki keyakinan bahwa Al Quran adalah diturunkan dari Allah swt? Apalagi ketika ia membelakangi Al Quran tatkala berbicara soal-soal kemasyarakatan dan menjadikan Al Quran sebagai justifikasi kesimpulan-kesimpulan yang telah ditetapkan sebelumnya, bagaimana mungkin dikatakan ia memakai Al Quran sebagai sumber hukum? Kesimpulannya, berbeda antara orang yang membantu fakir miskin, mendirikan panti asuhan, dan aktivitas kemasyarakatan lainnya, tetapi di dalam hatinya meragukan Al Quran, sekalipun apa yang dilakukannya ada perintahnya dalam Al Quran dengan orang yang tidak melakukan hal tersebut, tetapi di dalam hatinya membenarkan Al Quran firman Allah swt, bukan sebatas di bibir. Walaupun demikian, ketika masih ada pengakuan di bibir, kita tidak boleh men-cap individu-individu itu kafir, tetapi biarlah Allah nanti yang menetapkan putusannya. Pertanyaannya, sudahkah masing-masing kita mencapai keyakinan kepada Al Quran sebagai sumber utama dalam beragama Islam?

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

ignorance makes me want to learn from the smallest

Hadist Pilihan

Rasulullah saw. juga bersabda: «مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ» Siapa saja yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah pasti akan membukakan baginya suatu jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat akan melebarkan sayap keridhaan bagi seorang pencari ilmu. Sesungguhnya seluruh makhluk yang ada di langit maupun yang ada di bumi hingga bahkan ikan-ikan di dasar lautan akan memintakan ampunan kepada Allah bagi seorang yang berilmu. Sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu dengan seorang ahli ibadah adalah laksana keutamaan cahaya bulan purnama pada malam hari atas seluruh cahaya bintang. Sesungguhnya pula, orang-orang yang berilmu (para ulama) adalah pewaris para nabi, sementara para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambil ilmu, ia berarti telah mengambil bagian yang sangat besar. (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi)

  ©Design by extron_ton.